expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>
blogs

Kamis, 08 Desember 2011

Kata Si Fakir, “Jangan Menulis Pakai Cara Don’t Tell Me dan Dzontelmi Dong Ah?!”

 
haha, ini soal apa lagi? apa pula yang dimaksudkan menulis ala don’t tell me atawa dzontelmi? sabar, sabaaarrr si fakir yang hina dina ini mau seruput kopinya yang baru saja di seduh…“sruput, syerrruuuupuuuttttt….hmmm no coffee like it!”
hm, ini lain cerita. bukan soal puisi bukan pula soal opini atawa teknik menulis dengan menyodorkan tips dan triks yang mengagumkan atawa hal-hal dan hil-hil yang perlu dianggap serius. bukan pula tentang hal ihwal ahlan wasahlan tata cara ngeblog yang baik dan benar. bukan apa-apa, jangankan bicara urusan ngeblog soal tulis menulis saja si fakir pastinya sangat tidak ahli. mohon maaf, jika si fakir disodori dan atau dibebankan oleh yang merasa lebih pandai dalam hal tulis menulis. mungkin, lebih baik si fakir tiarap dan atau telanjang berdiri di sebuah jembatan dan atau terjun bebas dari lantai 33 sebuah gedung berlantai-lantai.
dalam hal terjun bebas dari sebuah jembatan dan atau sebuah gedung pencakar langit si fakir lebih suka mengistilahkan bukan sebagai kenekatan. karena dalam pandangan si fakir hal itu tidak lebih dari sebuah ajang latihan “bunuh diri”. apakah dengan menuliskan pernyataan semau gue ini si fakir di anggap lebay? tak masalah. mau lebay, benches, brekele, blukutuk atau apapun gelar yang diberikan kepada bukanlah hal yang akan menyakitkan hati si fakir. yang penting si fakir tetap merasa enjoy sepanjang siang dan sepanjang malam, haha.
lah, bukankah sangat mudah mencari korelasi antara judul tulisan dan kenekatan seorang fakir menuliskan judul yang ajaib dan terkesan nganeh-nganehi hingga keurusan terjun bebas atau nekat latihan “bunuh diri” adalah bukan bagian dari sebuah ke-lebay-an?
okelah, sebagai si fakir tidak mau pula dibilangin sedang pakai gaya sok-sokan. mulai dari sok pinter, sok lihay, sok arif, sok bijaksana dan bijaksitu, sok mulya hingga ke tingkah urakan yang meninggalkan jejak caci maki dan kekritisan yang membabi-buta. tak lupa pula meninggalkan rekaman jejak caci-maki ketika mendapatkan sebuah tulisan yang dianggap tidak sejalan dengan apa yang ada dalam fikirannya si fakir.
bah! khoq si fakir jadi bertele-tele? okelah, okelaaahhh. si fakir langsung fokus saja. beberapa hari yang lalu kami semua (kumpulan para fakir) dikejutkan dengan sebuah pernyataan dari salah seorang sahabat fakir pada salah satu gedung di kawasan taman ismail marzuki. sahabat tersebut tiba-tiba saja nyeletuk ketika terjadi sebuah perdebatan tentang penulisan naskah di sela-sela acara ngopi bareng bersama-sama dengan beberapa pegiat teater (sutradara, penulis naskah, pemain dan penata artistik).
“bro, menjadi pegiat penulis/karya tulis (naskah) yang berkarakter mesti memiliki open minded dan jangan pernah membudidayakan budaya don’t tell me dan berkarakter dzontelmi dong ah?!” ujarnya
serentak kami menjawab, “bah apa pula maksudnya itu braderrr?”
“haha, oke brader-braderku semua. ane langsung saja”.
pertama, cermati kalimat “don’t tell me” atau “jangan katakan padaku”. maksud dari kalimat tersebut adalah bahwasanya seorang penulis (karya tulis/naskah) jangan pernah mengatakan hal-hal yang buruk kepada audiens-nya dalam hal ini pegiat seni secara utuh dan penikmatnya (masyarakat awam) yang akan mengapresiasi dan atau membaca/akan menikmati karya tulisnya tersebut. termasuk juga ketika ada pembaca karya tulisnya yang memberikan pujian atau mengkritisi atau sekadar memberikan komentar yang ala kadarnya (basa-basi?). penulis dan pembaca yang baik itu harus berani mengatakan tell me atau katakan kepada saya apa yang kau ketahui. karena pengetahuan saya juga sangat terbatas.
kedua, “open minded” atau “berfikiran terbuka”. nah pada poin ini seorang penulis sangat wajib memiliki hal ini. bukan apa-apa bahwasanya tidak semua isi karya tulis kita berupa pokok-pokok fikiran bisa di terima oleh berbagai kalangan. ya, tentunya ada yang setuju ada pula yang tidak setuju. namun, jika ada perdebatan yang tajam sejatinya (bagi) penulis harus bisa mempertanggungjawabkan tulisannya dengan membuka diri tentang apa dan bagaimana maksud dari karya tulisnya tersebut. dan (bagi) pembacanya silahkan berfikiran terbuka juga ketika ada sebuah tulisan yang mengkritisi tentang apa, bagaimana dan seperti apa tata cara kita menuliskan sebuah karya tulis.
sebab, pembaca yang baik adalah bukan manusia yang sempurna demikian juga dengan penulis yang baik adalah bukan juga manusia yang sempurna. yang mahasempurna dengan segala kelebihannya hanyalah DIA Sang Pemilik Maha Semesta. dalam kesejatian, pembaca yang baik janganlah menjadi tuhan bagi sebuah tulisan. demikian juga penulis yang baik jangan pernah pula menjadi tuhan bagi tulisannya, so? untuk hal ini kembali kepada masing-masing pihak (penulis dan pembaca/penikmat), mau menerima atau tidak!
ketiga, penulis dan pembaca yang berkarakter “dzontelmi maksudnya su’udzon dan telat mikir”. haha, pastinya pada bagian ini adalah jatahnya si fakir yang hina dina. karena menurut saya yang sangat fakir ini, salah satu karakter saya yang paling menonjol adalah su’udzon atau berburuk sangka terhadap berbagai maksud yang tersirat maupun yang tersurat dari setiap karya tulis yang saya baca. di tambah lagi dengan satu kebiasaan paling buruk yang sampai saat ini masih saya punyai, yakni; telat mikir. maksudnya, saya lebih sering merasa tidak perlu membaca dahulu dengan cermat maksud dan isi setiap tulisan yang lebih sering berjudul bombastis. yang mana tulisan tersebut saya anggap sangat menyinggung harkat dan martabat kemanusiaan saya. bahkan lebih sialnya lagi adalah saya akibat dari adanya rasa itu saya lebih sering memberikan komentar yang hanya berdasarkan berbagai komentar rasa cabe lumutan (bukan akibat dari membaca karya tulis yang dipublikasikan). hingga sayapun dengan serta merta dan atau tanpa merasa perlu berfikir panjang langsung saja saya main skak-ster selanjutnya men-judge tulisan tersebut sebagai penghinaan terhadap eksistensi saya.
akibatnya? berhubung saya memang pada dasarnya sudah sangat memiliki karakter dzontelmi tersebut (harap maklum ini bawaan saya sejak bayi) terutama watak telat mikir. ya, tidak usah heranlah dengan karakter saya yang satu ini. sangat perlu untuk dipermaklumkan. pun, sebab akibat dari telat mikirnya saya ini secara sadar atau tidak telah ikut memanaskan suasana. sangat bisa di tebak bahwa pastinya suasana semakin liar dan cenderung tidak terkendali akibat dari pernyataan saya. walaupun, pernyataan saya baik itu dalam bentuk komentar atau tanggapan berupa tulisan baru (karya tulis?) terbaca oleh publik seakan-akan saya sangat bijaksana, seakan-akan saya bersikap laksana bhagawan kata-kata yang barusan turun dari pertapaannya di gunung sumbing. namun, setelah saya menelisik kembali ternyata tulisan dan atau komentar saya itu tidak lebih dari sekadar kata-kata yang berupaya menyembunyikan kelemahan saya sebagai orang yang berkarakter dzontelmi.
ampun deh konco-konco. khoq malah omongan saya ini jadi melantur dan menari-nari sak enake dewek? padahal khan saya sebagai si fakir yang hina dina sedang ingin menuliskan dan bercerita tentang “open minded” atau bahasa kerennya berfikiran terbuka untuk senantiasa sangat siap menerima kritik dan tidak pernah siap menerima pujian. duh, ampun lagi harap dimaklumilah karena inilah salah satu handycap saya dalam budaya tulis menulis yang paling parah yaitu karakter dzontelmi.
busyet dah! maaf beribu-ribu maaf konco-konco. lantaran saya terlalu berasyik masyuk dengan sekadar menonjolkan watak sok pinter hingga terkesan keminternya saya yang sangat berlebihan hingga tak terasa kopi item yang disajikan pada coffe table saya telah dikerumuni laler.
aw, aw, aw, kalau cuma dikerumuni laler sangat mudah diatasi. celup lalernya beserta sayapnya lalu buang lalernya dan minum kopinya. kata orang di kampung saya bahwa kaki laler dipenuhi oleh kuman dan obat penawar kuman dari jejak kaki laler itu adalah sayapnya. wallahu a’lam bishawab.
konco-konco, mari nikmati ngopi sore bareng  di serambi sentul “sruuuupuuuuttttt….hmmmm, no coffee like it!”
serambi sentul, 08 desember 2011
arrie boediman la ede

Related Posts :