expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>
blogs

Kamis, 08 Desember 2011

Begini Cara Oknum PNS Berkorupsi

Momen pemilihan ketua KPK menjadi momen untuk kembali ramai membicarakan korupsi dan menggosipkan terduga pelakunya. Pernyataan PPATK bahwa ada banyak PNS yang masuk muda namun punya timbunan saldo rekening yang berangka 10 digit atau lebih mengingatkan kembali pada PNS muda Ditjen Pajak, Gayus Tambunan yang punya timbunan harta puluhan milyar. Bukan rahasia, PNS pajak memang rata-rata memiliki kekayaan dan gaya hidup yang diatas rata-rata PNS lainnya. Sebagian masyarakat awam kemudian menduga, bahwa pajak yang telah disetor ke kas negara sebagian ditilep orang pajak — secara ilegal tentunya.
Banyaknya kasus korupsi dengan melibatkan banyak pejabat maupun staff PNS juga mengindikasikan jika sangat mudah bagi seseorang dalam birokrasi untuk korupsi. Bahkan kemarin kita mendengar berita tentang adanya PNS-PNS muda yang punya tabungan berangka miliaran.
Benak kita pun berkesimpulan, duit pemerintah di kas negara sedemikian mudah dibobol, sehingga PNS kemarin sore pun dapat melakukannya! Ya, kas negara rapuh, sehingga duit pemerintah dapat digangsir secara ilegal–tanpa prosedur resmi–dengan mudah. Ini tidak  benar. Sekarang mari kita tinjau sistem pengelolaan keuangan negara kita :
Dana pemerintah disimpan pada rekening Kas Negara di Bank Indonesia dan setiap hari dapat dipantau dan diketahui berapa duit yang dimiliki oleh pemerintah saat ini. Jadi, kas negara bukanlah berwujud gudang uang seperti milik Paman Gober yang penuh berisi keping-keping emas dan perhiasan atau gudang uang di bank yang memang isinya  bertumpuk-tumpuk uang kertas.
Penerimaan pajak, bea dan cukai serta pendapatan negara bukan pajak disetorkan oleh masyarakat melalui bank/kantor pos (bukan di kantor pajak) dan setiap sore bank dan kantor pos wajib mentransfernya ke rekening Kas Negara di Bank Indonesia, seluruhnya serta melaporkan penerimaan hari itu ke Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN), bukan ke kantor pajak. Dari sini jelaslah bahwa duit pajak yang disetorkan melalui bank/kantor pos dan mendapatkan Bukti Penerimaan Negara (BPN)/Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN) tidak mungkin untuk ditilep oleh oknum kantor pajak karena uangnya langsung dikirim ke BI hari itu juga. Walaupun terjadi kekurangan kirim ke BI sebesar Rp 1,- (satu rupiah), KPPN sebagai wakil Menteri Keuangan (Bendahara Umum Negara) akan menagih ke bank/kantor pos yang bersangkutan.
Kita tentu tahu, bahwa sistem perbankan kita cukup aman. Sulit seseorang membobol rekening milik orang lain seperti yang dilakukan Malinda Dee. Demikian juga dengan Rekening Kas Negara. Mustahil bagi pegawai dan pejabat Kementerian Keuangan (termasuk Ditjen Pajak) dapat mengeluarkan uang dari sana tanpa melalui sejumlah prosedur baku. Dengan demikian, kita sekarang tahu bahwa Kas Negara kita aman dari perampokan uang negara secara langsung, yaitu dengan modus pemindahbukuan dari kas negara ke rekening perseorangan/perusahaan.
Bagaimana oknum koruptor beraksi?
Mengenai hal ini, perlu kita rinci menjadi 2 bagian :
1. Korupsi Penerimaan, yaitu mengkorupsi dana dari masyarakat untuk kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan negara, atau mengurangi jumlah uang yang seharusnya menjadi hak negara. Bentuknya antara lain :
Pungutan liar (pungli), yaitu melakukan pungutan diluar ketentuan undang-undang dan tidak menyetorkan ke kas negara. Setiap tarif layanan instansi pemerintah harus didasarkan pada peraturan perundangan, dan dananya harus di setor ke kas negara, tidak boleh langsung digunakan untuk membiayai kegiatan instansi yang bersangkutan*). Contohnya adalah tarif penerbitan Surat Keterangan Catatan Kepolisisan (SKCK) adalah Rp. 10.000,-. sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 50 tahun 2010 dan duitnya disetor ke kas negara. Jika ternyata ada polisi minta lebih dari itu, maka kelebihan tersebut termasuk pungutan liar, walaupun dengan dalih beli tinta dan kertas. Demikian juga biaya nikah hanya Rp 30.000,-  (PP No. 47 Tahun 2004) sehingga pungutan selain tigapuluh ribu adalah pungli.
Tawar menawar kewajiban pajak, yaitu ‘main mata’ antara  wajib pajak dengan oknum pegawai pajak untuk memperkecil jumlah kewajiban pajak dengan ada  imbalan untuk oknum pegawai pajak. Sehingga bukan uang pajaknya di kas negara yang diambil, namun ‘uang jasa’ karena memperkecil kewajiban dari wajib pajak. Wajib pajak untung karena dapat diskon, orang pajak untung karena dapat uang jasa, negara rugi karena kehilangan potensi pendapatan.
2. Korupsi Pengeluaran, yaitu korupsi sehubungan dengan pelaksanaan belanja negara. Bentuk-bentuknya antara lain :
Mark up atau penggelembungan harga, misalnya kertas 1 rim seharga Rp. 30.000,- dimanipulasi harganya menjadi Rp 50.000,-. Kertas yang dibeli tetap ada wujudnya namun negara harus membayar lebih mahal, karena oknum pengelola keuangan ikut ‘ambil untung’. Demikian pula untuk skala proyek, nilai pekerjaannya dimahalkan dengan konsekuensi ada sekian persen biaya proyek yang disetorkan ke pemilik proyek/instansi. Karena pelaku proyek ingin untuk lebih banyak lagi, kualitas proyeknya dikurangi, misalanya dengan mengurangi takaran semen atau ketebalan lapisan aspal.
Belanja  fiktif. Lebih jahat dari mark-up adalah belanja boongan. Mengaku telah membeli ini dan itu tapi tidak ada barangnya, telah melakukan kegiatan ini dan itu tapi tak pernah terjadi, sementara secara administratif ada, dana juga dikeluarkan.  Dan lebih jahat dari belanja fiktif adalah belanja fiktif yang sekaligus dimark-up!
Selain itu, titik rawan korupsi dari belanja negara adalah kongkalikong dalam lelang/tender proyek (pekerjaan pemerintah), yang disana rawan terjadi suap dalam penetapan pemenang pekerjaan.
Pemotongan pembayaran. Pada prinsipnya pengeluaran negara adalah dengan memindahbukukan dana dari rekening kas negara ke rekening penerima pembayaran, tanpa melalui bendahara. Prinsip pembayaran demikian termasuk untuk pembayaran gaji PNS pusat. Dengan demikian praktik penyunatan hak penerima pembayaran dapat terkurangi. Namun dalam  beberapa belanaj, masih diperbolehkan adanya pembayaran (tunai) melalui bendahara. Praktik lama berupa penyunatan ini terutama jika si penerima dalam posisi yang lemah, sehingga terpaksa menandatangani tanda terima Rp 200.000,- walaupun sebenarnya dia hanya terima Rp 100.000,-. Kasus dana pengamanan pilkada Jabar yang menyeret nama mantan Kapolda Jabar Susno Duaji adalah contohnya.
Honor-honor buta. Seorang pimpinan instansi membuat SK pembentukan tim kegiatan tertentu dengan melibatkan sekian orang dengan ditetapkan pula honornya sekian untuk masing-masing anggota tim. Kurang tepat sebenarnya disebut korupsi. Namun biasanya kerja tim sendiri kurang efektif, tak sebanding dengan honornya sehingga cara ini adalah lebih tepatnya disebut pemborosan.
***
Praktik yang saya sebutkan di atas hanyalah sebagian modus yang sering terjadi. Modus-modus baru tentu juga muncul. Korupsi tak bisa dilakukan seorang diri. Pasti ada persekongkolan dari para pelaku, baik suka sama suka maupun keterpaksaan kaerna tekanan dari atasan. Korupsi berupa pungli bisa lestari karena ada pembiaran dari atasan, yang seolah tutup mata dengan kenakalan anak buah.
***
Tanggungjawab penggunaan anggaran sepenuhnya berada di tangan pengguna angaran, yaitu kementerian/lembaga. Menteri Keuangan sebagai Bendahara Umum Negara hanya melakukan pengujian administratif atas tagihan yang yang diajukan oleh kementerian/lembaga. Pengujian tersebut misalnya kebenaran tanda tangan pejabat, kesesuaian dan kelengkapan pengisian formulir perintah pembayaran dan kelengkapannya, ketersediaan anggaran lembaga yang bersangkutan, kesesuai belanja dengan anggaran, dll. Sedangkan kegiatan tersebut benar ada atau tidak, hasilnya benar-benar telah sesuai dengan kontrak atau tidak, dimark-up atau tidak, dan sebagainya sepenuhnya menjadi tanggungjawab pengguna anggaran. Tugas pemeriksa fungsional (BPK, BPKP, inspektorat) untuk menemukan pelanggarannya dengan menelisik dokumen keuangan dan pengecekan fisik pekerjaan.
Kadangkala, sebuah instansi melakukan pungutan/potongan pembayaran dengan alasan untuk pengurusan pencairan dananya ke kas negara. Alasan ini jelas mengada-ada, karena seluruh pengurusan anggaran sampai dengan cair ke tangan penerima adalah gratis, tanpa biaya. Seluruh keperluan administratif pun telah tersedia anggarannya. Kalaupun memang ada oknum nakal Kementerian Keuangan yang minta ini dan itu, tentu Anda bisa melawan dengan melaporkannya ke Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan.
——-
*) kecuali untuk instansi Badan Layanan Umum (BLU) seperti rumah sakit dan universitas.
Catatan : lingkup tulisan ini adalah dalam pengelolaan keuangan pemerintah pusat (APBN), bukan pemerintah daerah (APBD).
CMIIW.

Related Posts :